Moderasi
Beragama sebagai Perekat dan Pemersatu Bangsa
Penulis:
Dr. Joni Tapingku, M.Th. (Rektor IAKN Toraja)
OPINI– Mengapa moderasi beragama penting dalam konteks persatuan di Indonesia? Tetapi sebelum melihat pentingnya moderasi beragama dalam konteks persatuan di Indonesia, maka ada baiknya penting memahami lebih dahulu pengertian moderasi beragama itu sendiri.
Kata “moderasi” memiliki korelasi dengan beberapa
istilah. Dalam bahasa Inggris, kata “moderasi” berasal dari kata moderation,
yang berarti sikap sedang, sikap tidak berlebih-lebihan. Juga terdapat kata
moderator, yang berarti ketua (of meeting), pelerai, penengah (of dispute).
Kata moderation berasal dari bahasa Latin moderatio, yang berarti ke-sedang-an
(tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kata “moderasi” berarti penghidaran kekerasan atau penghindaran keekstreman.
Kata ini adalah serapan dari kata “moderat”, yang berarti sikap selalu
menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem, dan kecenderungan ke
arah jalan tengah. Sedangkan kata “moderator” berarti orang yang bertindak
sebagai penengah (hakim, wasit, dan sebagainya), pemimpin sidang (rapat,
diskusi) yang menjadi pengarah pada acara pembicaraan atau pendiskusian
masalah, alat pada mesin yang mengatur atau mengontrol aliran bahan bakar atau
sumber tenaga.
Jadi, ketika kata “moderasi” disandingkan dengan kata
“beragama”, menjadi “moderasi beragama”,
maka istilah tersebut berarti merujuk pada sikap mengurangi kekerasan, atau
menghindari keekstreman dalam praktik beragama. Gabungan kedua kata itu
menunjuk kepada sikap dan upaya menjadikan agama sebagai dasar dan prinsip
untuk selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem
(radikalisme) dan selalu mencari jalan tengah yang menyatukan dan membersamakan
semua elemen dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa Indonesia.
Sikap moderat dan moderasi adalah suatu sikap dewasa
yang baik dan yang sangat diperlukan. Radikalisasi dan radikalisme, kekerasan
dan kejahatan, termasuk ujaran kebencian/caci maki dan hoaks, terutama atas
nama agama, adalah kekanak-kanakan, jahat, memecah belah, merusak kehidupan,
patologis, tidak baik dan tidak perlu.
Moderasi beragama merupakan usaha kreatif untuk mengembangkan
suatu sikap keberagamaan di tengah pelbagai desakan ketegangan (constrains),
seperti antara klaim kebenaran absolut dan subjektivitas, antara interpretasi
literal dan penolakan yang arogan atas ajaran agama, juga antara radikalisme
dan sekularisme. Komitmen utama moderasi beragama terhadap toleransi
menjadikannya sebagai cara terbaik untuk menghadapi radikalisme agama yang
mengancam kehidupan beragama itu sendiri dan, pada gilirannya, mengimbasi
kehidupan persatuan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Memperhatikan sikap keberagamaan dalam dinamika
berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini, Presiden Republik Indonesia, Joko
Widodo, pada berbagai kesempatan mengajak tokoh-tokoh agama untuk menjadikan
agama sebagai sumber nilai-nilai yang merawat kebinekaan. Presiden mengajak
tokoh‑tokoh agama dan umat beragama untuk memberikan wawasan keagamaan yang
Iebih dalam dan luas lagi kepada umat masing-masing, karena eksklusivisme,
radikalisme, dan sentimen-sentimen agama cenderung bertumpu pada ajaran-ajaran
agama yang terdistorsi. Tidak dapat disangkal bahwa agama menjadi roh utama
bangsa ini sehingga para tokoh agama berperan penting untuk menjaga kemajemukan
sebagai kekayaan dan modal sosial Indonesia.
Keragaman dan Keberagamaan Indonesia
Bagi bangsa Indonesia, keragaman diyakini sebagai
kehendak Tuhan. Keragaman tidak diminta, melainkan pemberian Tuhan Yang
Mencipta, bukan untuk ditawar melainkan untuk diterima (taken for granted).
Indonesia adalah negara dengan keragaman etnis, suku, budaya, bahasa, dan agama
yang nyaris tiada tandingannya di dunia. Selain enam agama yang paling banyak
dipeluk oleh masyarakat, ada ratusan bahkan ribuan suku, bahasa dan aksara
daerah, serta kepercayaan lokal di Indonesia.
Dengan kenyataan beragamnya masyarakat Indonesia itu,
dapat dibayangkan betapa beragamnya pendapat, pandangan, keyakinan, dan
kepentingan masing-masing warga bangsa, termasuk dalam beragama. Beruntung kita
memiliki satu bahasa persatuan, bahasa Indonesia, sehingga berbagai keragaman
keyakinan tersebut masih dapat dikomunikasikan, dan karenanya antarwarga bisa
saling memahami satu sama lain. Meski begitu, gesekan akibat keliru mengelola
keragaman itu tak urung kadang terjadi.
Dari sudut pandang agama, keragaman adalah anugerah
dan kehendak Tuhan; jika Tuhan menghendaki, tentu tidak sulit membuat
hamba-hamba-Nya menjadi seragam dan satu jenis saja. Tapi Tuhan memang Maha
Menghendaki agar umat manusia beragam, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, dengan
tujuan agar kehidupan menjadi dinamis, saling belajar, dan saling mengenal satu
sama lain. Dengan begitu, bukankah keragaman itu sangat indah? Kita harus
bersyukur atas keragaman bangsa Indonesia ini.
Selain agama dan kepercayaan yang beragam, dalam
tiap-tiap agama pun terdapat juga keragaman penafsiran atas ajaran agama,
khususnya ketika berkaitan dengan praktik dan ritual agama. Umumnya,
masing-masing penafsiran ajaran agama itu memiliki penganutnya yang meyakini
kebenaran atas tafsir yang dipraktikkannya.
Pengetahuan atas keragaman itulah yang memungkinkan
seorang pemeluk agama akan bisa mengambil jalan tengah (moderat) jika satu
pilihan kebenaran tafsir yang tersedia tidak memungkinkan dijalankan. Sikap
ekstrem biasanya akan muncul manakala seorang pemeluk agama tidak mengetahui
adanya alternatif kebenaran tafsir lain yang bisa ia tempuh. Dalam konteks
inilah moderasi beragama menjadi sangat penting untuk dijadikan sebagai sebuah
cara pandang (perspektif) dalam beragama.
Di Indonesia, dalam era demokrasi yang serba terbuka,
perbedaaan pandangan dan kepentingan di antara warga negara yang sangat beragam
itu dikelola sedemikian rupa, sehingga semua aspirasi dapat tersalurkan
sebagaimana mestinya. Demikian halnya dalam beragama, konstitusi kita menjamin
kemerdekaan umat beragama dalam memeluk dan menjalankan ajaran agama sesuai
dengan kepercayaan dan keyakinannya masing-masing.
Ideologi negara kita, Pancasila, sangat menekankan
terciptanya kerukunan antarumat beragama. Indonesia bahkan menjadi contoh bagi
bangsa-bangsa di dunia dalam hal keberhasilan mengelola keragaman budaya dan
agamanya., serta dianggap berhasil dalam hal menyandingkan secara harmoni cara
beragama sekaligus bernegara. Konflik dan gesekan sosial dalam skala kecil
memang kerap terjadi, namun kita selalu berhasil keluar dari konflik, dan
kembali pada kesadaran atas pentingnya persatuan dan kesatuan sebagai sebuah
bangsa besar, bangsa yang dianugerahi keragaman oleh Sang Pencipta.
Namun demikian, kita harus tetap waspada. Salah satu
ancaman terbesar yang dapat memecah belah kita sebagai sebuah bangsa adalah
konflik berlatar belakang agama, terutama yang disertai dengan aksi-aksi
kekerasan. Mengapa? Karena agama, apa pun dan di mana pun, memiliki sifat dasar
keberpihakan yang sarat dengan muatan emosi, dan subjektivitas tinggi, sehingga
hampir selalu melahirkan ikatan emosional pada pemeluknya. Bahkan bagi pemeluk
fanatiknya, agama merupakan “benda” suci yang sakral, angker, dan keramat.
Alih-alih menuntun pada kehidupan yang tenteram dan menenteramkan, fanatisme
ekstrem terhadap kebenaran tafsir agama tak jarang menyebabkan permusuhan dan
pertengkaran di antara mereka.
Konflik berlatar agama ini dapat menimpa berbagai
kelompok atau mazhab dalam satu agama yang sama (sektarian atau intraagama),
atau terjadi pada beragam kelompok dalam agama-agama yang berbeda (komunal atau
antaragama). Biasanya, awal terjadinya konflik berlatar agama ini disulut oleh
sikap saling menyalahkan tafsir dan paham keagamaan, merasa benar sendiri,
serta tidak membuka diri pada tafsir dan pandangan keagamaan orang lain.
Untuk mengelola situasi keagamaan di Indonesia yang
sangat beragam seperti digambarkan di atas, kita membutuhkan visi dan solusi
yang dapat menciptakan kerukunan dan kedamaian dalam menjalankan kehidupan
keagamaan, yakni dengan mengedepankan moderasi beragama, menghargai keragaman
tafsir, serta tidak terjebak pada ekstremisme, intoleransi, dan tindak
kekerasan.
Semangat moderasi beragama adalah untuk mencari titik
temu dua kutub ekstrem dalam beragama. Di satu sisi, ada pemeluk agama Tang
ekstrem meyakini mutlak kebenaran satu tafsir teks agama, seraya menganggap
sesat penafsir selainnya. Kelompok ini biasa disebut ultra-konservatif. Di sisi
lain, ada juga umat beragama yang ekstrem mendewakan akal hingga mengabaikan
kesucian agama, atau mengorbankan kepercayaan dasar ajaran agamanya demi
toleransi Tang tidak pada tempatnya kepada pemeluk agama lain. Mereka biasa
disebut ekstrem liberal. Keduanya perlu dimoderasi.
Mengapa Penting Moderasi Beragama?
Ini adalah sebuah pertanyaan yang sering diajukan:
mengapa kita, bangsa Indonesia khususnya, membutuhkan perspektif moderasi dalam
beragama?
Secara umum, jawabannya adalah karena keragaman dalam
beragama itu niscaya, tidak mungkin dihilangkan. Ide dasar moderasi adalah
untuk mencari persamaan dan bukan mempertajam perbedaan. Jika dielaborasi lebih
lanjut, ada setidaknya tiga alasan utama mengapa kita perlu moderasi beragama:
Pertama, salah satu esensi kehadiran agama adalah
untuk menjaga martabat manusia sebagai makhluk mulia ciptaan Tuhan, termasuk
menjaga untuk tidak menghilangkan nyawanya. Itu mengapa setiap agama selalu
membawa misi damai dan keselamatan. Untuk mencapai itu, agama selalu menghadirkan
ajaran tentang keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan; agama juga
mengajarkan bahwa menjaga nyawa manusia harus menjadi prioritas; menghilangkan
satu nyawa sama artinya dengan menghilangkan nyawa keseluruhan umat manusia.
Moderasi beragama menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Orang yang ekstrem tidak jarang terjebak dalam praktik
beragama atas nama Tuhan hanya untuk membela keagungan-Nya saja seraya
mengenyampingkan aspek kemanusiaan. Orang beragama dengan cara ini rela
merendahkan sesama manusia “atas nama Tuhan”, padahal menjaga kemanusiaan itu
sendiri adalah bagian dari inti ajaran agama.
Sebagian manusia sering mengeksploitasi ajaran agama
untuk memenuhi kepentingan hawa nafsunya, kepentingan hewaninya, dan tidak
jarang juga untuk melegitimasi hasrat politiknya. Aksi‑aksi eksploitatif atas
nama agama ini yang menyebabkan kehidupan beragama menjadi tidak seimbang,
cenderung ekstrem dan berlebih-lebihan. Jadi, dalam hal ini, pentingnya
moderasi beragama adalah karena ia menjadi cara mengembalikan praktik beragama
agar sesuai dengan esensinya, dan agar agama benar-benar berfungsi menjaga
harkat dan martabat manusia, tidak sebaliknya.
Kedua, ribuan tahun setelah agama-agama lahir, manusia
semakin bertambah dan beragam, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, beraneka warna
kulit, tersebar di berbagai negeri dan wilayah. Seiring dengan perkembangan dan
persebaran umat manusia, agama juga turut berkembang dan tersebar. Karya-karya
ulama terdahulu yang ditulis dalam bahasa Arab tidak lagi memadai untuk mewadahi
seluruh kompleksitas persoalan kemanusiaan.
Teks-teks agama pun mengalami multitafsir, kebenaran
menjadi beranak pinak; sebagian pemeluk agama tidak lagi berpegang teguh pada
esensi dan hakikat ajaran agamanya, melainkan bersikap fanatik pada tafsir kebenaran
versi yang disukainya, dan terkadang tafsir yang sesuai dengan kepentingan
politiknya. Maka, konflik pun tak terelakkan. Kompleksitas kehidupan manusia
dan agama seperti itu terjadi di berbagai belahan dunia, tidak saja di
Indonesia dan Asia, melainkan juga di berbagai belahan dunia lainnya. Konteks
ini yang menyebabkan pentingnya moderasi beragama, agar peradaban manusia tidak
musnah akibat konflik berlatar agama.
Ketiga, khusus dalam konteks Indonesia, moderasi
beragama diperlukan sebagai strategi kebudayaan kita dalam merawat
keindonesiaan. Sebagai bangsa yang sangat heterogen, sejak awal para pendiri
bangsa sudah berhasil mewariskan satu bentuk kesepakatan dalam berbangsa dan
bernegara, yakni Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang telah
nyata berhasil menyatukan semua kelompok agama, etnis, bahasa, dan budaya.
Indonesia disepakati bukan negara agama, tapi juga tidak memisahkan agama dari
kehidupan sehari-hari warganya. Nilai-nilai agama dijaga, dipadukan dengan
nilai-nilai kearifan dan adat-istiadat lokal, beberapa hukum agama dilembagakan
oleh negara, ritual agama dan budaya berjalin berkelindan dengan rukun dan
damai.
Itulah sesungguhnya jati diri Indonesia, negeri yang
sangat agamis, dengan karakternya yang santun, toleran, dan mampu berdialog
dengan keragaman. Ekstremisme dan radikalisme niscaya akan merusak sendi-sendi
keindonesiaan kita jika dibiarkan tumbuh berkembang. Karenanya, moderasi
beragama amat penting dijadikan cara pandang.
Selain dari tiga poin besar di atas, dapat juga
dijelaskan bahwa moderasi beragama sesungguhnya merupakan kebaikan moral
bersama yang relevan tidak saja dengan perilaku individu, melainkanjuga dengan
komunitas atau lembaga.
Moderasi telah lama menjadi aspek yang menonjol dalam
sejarah peradaban dan tradisi semua agama di dunia. Masing-masing agama niscaya
memiliki kecenderungan ajaran yang mengacu pada satu titik makna yang sama,
yakni bahwa memilih jalan tengah di antara dua kutub ekstrem dan tidak berlebih-lebihan
merupakan sikap beragama yang paling ideal.
Kesamaan nilai moderasi ini pula yang kiranya menjadi
energi pendorong terjadinya pertemuan bersejarah dua tokoh agama besar dunia,
Paus Fransiskus dengan Imam Besar Al Azhar, Syekh Ahmad el-Tayyeb, pada 4
Februari 2019 lalu. Pertemuan tersebut menghasilkan dokumen persaudaraan
kemanusiaan (human fraternity document), yang di antara pesan utamanya
menegaskan bahwa musuh bersama kita saat ini sesungguhnya adalah ekstremisme
akut (fanatic extremism), hasrat saling memusnahkan (destruction), perang
(war), intoleransi (intolerance), serta rasa benci (hateful attitudes) di
antara sesama umat manusia, yang semuanya mengatasnamakan agama.
Sebagai negara yang plural dan multikultural, konflik
berlatar agama sangat potensial terjadi di Indonesia. Kita perlu moderasi
beragama sebagai solusi, agar dapat menjadi kunci penting untuk menciptakan
kehidupan keagamaan yang rukun, harmoni, damai, serta menekankan keseimbangan,
baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun kehidupan secara
keseluruhan.
Moderat sering disalahpahami dalam konteks beragama di
Indonesia. Tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa seseorang yang
bersikap moderat dalam beragama berarti-tidak teguh pendirian, tidak serius,
atau tidak sungguh-sungguh dalam mengamalkan ajaran agamanya. Moderat
disalahpahami sebagai kompromi keyakinan teologis beragama dengan pemeluk agama
lain.
Seorang yang moderat seringkali dicap tidak paripurna
dalam beragama, karena dianggap tidak menjadikan keseluruhan ajaran agama
sebagai jalan hidup, serta tidak menjadikan laku pemimpin agamanya sebagai
teladan dalam seluruh aspek kehidupan. Umat beragama yang moderat juga sering
dianggap tidak sensitif, tidak memiliki kepedulian, atau tidak memberikan pembelaan
ketika, misalnya, simbol-simbol agamanya direndahkan.
Anggapan keliru lain yang lazim berkembang di kalangan
masyarakat adalah bahwa berpihak pada nilai-nilai moderasi dan toleransi dalam
beragama sama artinya dengan bersikap liberal dan mengabaikan norma-norma dasar
yang sudah jelas tertulis dalam teks-teks keagamaan, sehingga dalam kehidupan
keagamaan di Indonesia, mereka yang beragama secara moderat sering dihadapkan
secara diametral dengan umat yang dianggap konservatif dan berpegang teguh pada
ajaran agamanya.
Kesalahpahaman terkait makna moderat dalam beragama
ini berimplikasi pada munculnya sikap antipati masyarakat yang cenderung enggan
disebut sebagai seorang moderat, atau lebih jauh malah menyalahkan sikap
moderat.
Namun, benarkah pemahaman moderat seperti itu? Dan
benarkah bahwa bersikap moderat dalam beragama berarti menggadaikan keyakinan
ajaran agama kita demi untuk menghargai keyakinan pemeluk agama lain?
Jawabannya tentu saja tidak. Moderat dalam beragama
sama sekali bukan berarti mengompromikan prinsip-prinsip dasar atau ritual
pokok agama demi untuk menyenangkan orang lain yang berbeda paham keagamaannya,
atau berbeda agamanya. Moderasi beragama juga bukan alasan bagi seseorang untuk
tidak menjalankan ajaran agamanya secara serius. Sebaliknya, moderat dalam
beragama berarti percaya diri dengan esensi ajaran agama yang dipeluknya, yang
mengajarkan prinsip adil dan berimbang, tetapi berbagi kebenaran sejauh
menyangkut tafsir agama.